Selasa, 28 Desember 2010

Murah hati 2

Dahulu kala ada seorang yang semasa muda hingga tuanya hidup berkebun. Dia tekun sekali dan bekerja keras untuk menghasilkan perkebunannya melimpah ruah. Maka tidak heran jika banyak orang senang melihat kebun itu, hingga kebun itu menjadi tempat berteduh orang-orang yang lewat sambil menikmati udara segar serta buah dari hasil kebun itu. Burung-urungpun merasa bahagia berada di kebun itu karena dapat menikmati buah-buahannya juga. Suatu hari kebun ini waktunya dipanen buahnya. Kebiasaan orang tua ini ketika memanen hasil buah-buahan dari berkebun ini selalu minta tolong kepada tetangga dan orang-orang miskin di sekitar untuk memanennya, setelah panen selesai para tetangga dan orang-orang miskin yang membantunya diberi upah, diberi sewa sabit dan keranjangnya serta ikut merasakan buah-buahan yang dipanennya. Begitulah kebiasaan baik selalu dilakukan oleh orang tua ini selama bertahun-tahun hingga akhir hayatnya. Dari kebiasaan yang baik ini menyebabkan hasil kebunnya semakin melimpah dan akhirnya semakin kaya. Tibalah sekarang kebun dalam pemeliharaan anak-anaknya. Kebun-kebun itu masih terlihat indah dan melimpah buah-buahanya.  Namun kebiasaan baik yang dilakukan orang tuanya semasa hidup sekarang tidak dilakukan oleh anak-anaknya. Suatu hari kebun itu waktunya memanen. Ketiga anak yang ditinggalkannya bermusyawarah bagiaman cara memanennya. Dua anak yang lebih tua berpendapat bahwa cara memanennya tidak usah mengundang tetangga atau minta bantuan orang-orang miskin seperti yang dilakukan ayahnya semasa masih hidup, cukup dipanen sendiri saja sehingga buah-buahannya tidak berkurang dan akan semakin kaya. Namun adiknya tidak menyetujui cara seperti itu, dia berpendirian agar cara memanennya dijalankan seperti ayahnya. Pendapat itu ditentang oleh kedua kakanya tadi, dan akhirnya pendaptnya kalah, dia hanya pasrah dan berkata : ”kalau nanti terjadi apa-apa saya tidak ikut bertanggung jawab”  ujar adiknya. Hari panenpun tiba, mulai sore hari mereka sudah mempersiapkan alat-alat untuk panen besok. Mereka sudah merencanakan untuk berangkat pagi-pagi sebelum fajar terbit agar tidak terlihat tetangga dan orang-orang miskin disekitarnya. Malam itu mereka tidak bisa tidur terutama dua saudara tua. Sampailah waktu yang direncanakan tiba, mereka berangkat bertiga ke kebun dengan membawa peralatan lengkap dan alat transportasi. Sesampai di kebun mereka bingung dan heran karena kebun itu pohonnya mengering, buah-buahnnya busuk dan jatuh di tanah semua, sampai-sampai mereka bergumam : ”oh ini kebun kita atau bukan ? semakin bingunglah mereka. Haripun semakin siang, dan tampaklah kebun itu benar-benar rusak. Adiknya yang termuda berkata : ”saya sudah mengatakan jangan tinggalkan kebiasaan baik yang dilakukan ayah kita dahulu”. Melihat kejadian itu sadarlah mereka bahwa niat yang jelek itu akhirnya tidak direstui Allah, dan mereka bertaubat tidak akan mengulangi perbuatan itu. Akan tetapi nasi telah menjadi bubur, kebunnya telah rusak dan mereka rugi bertahun-tahun.

Kisah di atas adalah bagian dari ilustrasi bahwa kadang kita memiliki sifat egois yang tinggi. Misalnya kita jadi petani bekerja keras membanting tulang berkebun, atau bersawah ladang, seorang pegawai pergi pagi dan pulang petang atau bahkan malam, seorang pedagang pergi ke pasar petang dan pulang malam, seorang pejabat yang berusaha jabatannya tidak bergeser kalau perlu selamanya menjabat, soerang anggota dewan yang rajin berdiskusi dan berdebat dalam sidang yang saling adu argumentasi bahkan kalau perlu diikuti saling lempar kursi karena mempertahankan pendapatnya. Nah sebagian besar tujuan akhir dari kerja keras kita ini adalah untuk mendapatkan kekayaan atau harta. Dan pada umumnya setelah mendapat kekayaan lalu berusaha agar harta itu tidak hilang atau berkurang bahkan kalau perlu sampai tujuh keturunan harta itu tidak habis. Kita berpendirian bahwa harta yang kita dapat itu adalah hasil kerja keras kita, tidak ada campur tangan dari fihak lain, sehingga harta itu hanya untuk kebahagiaan diri dan keluarga saja, tidak perlu orang lain ikut menikmati.

Kalau kita mau merenungkan bahwa harta yang kita dapat dari hasil apa saja itu adalah asalnya dari Allah. Allah berpesan bahwa di dalam harta yang kita miliki ada hak untuk orang lain, apalagi bagi orang-orang lemah yang sangat memerlukan. Di kanan kiri kita masih banyak orang-orang yang lemah, anak-anak terlantar, anak-anak yatim yang mengharapkan uluran tangan (kemurahan hati) kita. Lalu mengapa kita harus bermurah hati dengan harta itu ? Jawabya adalah sebenarnya harta yang dikeluarkan untuk diinfakkan kepada fihak lain yang memerlukan itu kembalinya kepada kita sendiri. Semakin banyak harta yang kita infakkan, maka kita akan menerima balasan semakin banyak. Sebaliknya semakin sedikit yang kita infakkan maka kembalinnya juga sedikit. Allah berjanji akan melipatgandakan pahala atau balasan bagi yang berinfak dengan 700 kali. (QS.Al-Baqarah : 261). Balasan dari Allah bukan hanya berupa harta, akan tetapi lebih luas lagi, mungkin bisa berupa ketengan/ketentraman hati, mungkin keamanan, mungkin dikaruniai anak cerdas dan shalih/shalihah, mungkin dijauhkan dari bencana dan sebagainya. Bermurah hati adalah sifat yang sangat terpuji dan seharusnya terpatri dalam diri kita. Selanjutnya bermurah hati tidak hanya terbatas pada menginfakkan harta saja, akan tetapi apapun yang kita miliki perlu berbagi kepada yang lain. Punya ilmu bermurah hati kepada yang bodoh, punya jabatan bermurah hati (melayani) kepada rakyat dengan sepenuh hati, punya fikiran-fikiran baik perlu berbagi kepada orang yang banyak problem untuk membantu memcahkan problem itu, punya tenaga bermurah hati dengan tenaga untuk menolong orang lemah (sengsara), dan kalau hanya memiliki senyumpun perlu kita bermurah hati dengan senyum yang ikhlas untuk kebahagiaan orang lain. Semoga ....

1 komentar: